Taman Nasional Aketajawe Lolobata menjadi rumah bagi beragam spesies burung endemik yang menakjubkan. Kawasan seluas 167.300 hektar ini terletak di Halmahera, Maluku Utara. Keberadaan taman nasional ini sangat vital bagi kelangsungan hidup berbagai jenis burung langka. BirdLife International mengakui kawasan ini sebagai habitat penting untuk 23 spesies burung endemik. Melalui artikel ini, Anda akan mengenal tujuh spesies burung endemik yang menjadi penghuni istimewa taman nasional tersebut.
Burung Bidadari Halmahera: Ikon Kecantikan dari Maluku Utara
Pertama adalah burung Bidadari Halmahera atau Semioptera wallacii merupakan flagship species di Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Burung ini ditemukan pertama kali oleh Alfred Russel Wallace pada tahun 1858 di Pulau Bacan. Keindahan burung jantan sangat memukau dengan perisai dada berwarna hijau zamrud yang mencolok. Dua pasang bulu putih memanjang dari sayapnya seperti antena yang elegan dan unik. Burung ini berukuran sedang dengan panjang tubuh sekitar 28 sentimeter dan berat 157 gram.
Aktivitas terbaik untuk mengamati burung ini adalah pagi hari sekitar pukul 07.00 hingga 10.00 WIT. Burung jantan menampilkan tarian udara yang memukau untuk menarik perhatian betina selama musim kawin. Habitat alaminya berada di hutan hujan dataran rendah pada ketinggian 250 hingga 1.000 meter. Sayangnya, populasi burung ini terus menurun akibat kerusakan habitat dan pembukaan lahan. Pemerintah Indonesia telah menetapkan burung ini sebagai satwa yang dilindungi melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kasturi Ternate: Si Merah Bersuara Cerewet
Kasturi Ternate atau Lorius garrulus adalah burung paruh bengkok endemik dengan warna dominan merah menyala. Burung berukuran sedang ini memiliki panjang tubuh sekitar 30 sentimeter dengan paruh berwarna oranye. Sayap, paha, dan ujung ekornya berwarna hijau terang yang kontras dengan tubuh merahnya. Punggungnya dihiasi warna kuning cerah yang menambah keindahan penampilannya secara keseluruhan.
Nama Inggrisnya adalah Chattering Lory yang merujuk pada sifatnya yang berisik dan cerewet. Burung ini mengeluarkan suara tinggi seperti “weee-ooo” dan teriakan khas yang keras. Kasturi Ternate hidup berkelompok dan sering mengunjungi pohon yang sedang berbunga atau berbuah. Mereka memakan nektar, buah-buahan, dan biji-bijian dengan paruh bengkoknya yang kuat dan tajam.
Populasi Kasturi Ternate di alam semakin menurun drastis akibat perburuan dan perdagangan ilegal. Burung ini menjadi target utama penangkapan dengan presentase mencapai 68,2 persen dari total perdagangan paruh bengkok. Habitat mereka tersebar di Halmahera, Widi, Ternate, dan pulau-pulau sekitarnya di Maluku Utara. Status konservasi burung ini adalah Vulnerable atau rentan menurut IUCN Red List internasional.
Kakatua Putih: Paruh Bengkok Berjambul Indah
Kakatua Putih atau Cacatua alba merupakan burung berukuran besar dengan bulu seluruh tubuh berwarna putih. Jambul putih di kepalanya dapat ditegakkan saat burung merasa terancam atau sedang bersemangat. Paruhnya berwarna hitam dan melengkung kuat untuk memecahkan biji-bijian keras dari berbagai pohon. Burung ini memiliki suara panggilan yang keras dan dapat terdengar dari jarak yang cukup jauh.
Kakatua Putih hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil di hutan dataran rendah hingga perbukitan. Mereka memiliki sifat monogami dan setia pada pasangannya seumur hidup burung tersebut. Makanan utamanya terdiri dari biji-bijian, buah-buahan, kacang-kacangan, dan berbagai jenis bunga hutan. Burung ini aktif pada pagi dan sore hari untuk mencari makan di kanopi pohon.
Ancaman terbesar bagi Kakatua Putih adalah perdagangan ilegal sebagai burung peliharaan yang populer. Banyak individu ditangkap dari alam liar dan dijual ke berbagai daerah bahkan luar negeri. Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata terus melakukan upaya konservasi melalui program rehabilitasi dan pelepasliaran. Burung ini dilindungi penuh berdasarkan peraturan perundangan Indonesia tentang konservasi sumber daya alam.
Nuri Bayan: Burung dengan Dimorfisme Seksual yang Mencolok
Nuri Bayan atau Eclectus roratus memiliki keunikan luar biasa dengan perbedaan warna antara jantan dan betina. Burung jantan didominasi warna hijau cerah dengan bulu ketiak dan sisi tubuh berwarna merah. Sementara betina memiliki warna merah cerah yang sangat berbeda dari jantan burung tersebut. Ukuran tubuhnya mencapai 30 hingga 43 sentimeter dengan bentuk tubuh yang kokoh.
Habitat Nuri Bayan tersebar luas di Maluku, termasuk di kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Burung ini mendiami hutan primer dan sekunder dari dataran rendah hingga ketinggian 450 meter. Mereka sering terlihat berkelompok di pohon ara yang sedang berbuah dengan jumlah cukup banyak. Makanannya terdiri dari buah-buahan matang, biji-bijian, kuncup bunga, dan nektar dari berbagai tumbuhan.
Nuri Bayan memiliki kemampuan meniru suara di sekitarnya sehingga populer sebagai burung peliharaan. Hal ini menyebabkan tekanan berat pada populasi liar akibat penangkapan berlebihan untuk perdagangan. Harga jual Nuri Bayan di pasar gelap mencapai Rp400.000 hingga Rp550.000 per ekor. Petugas BKSDA dan Balai Taman Nasional rutin melakukan operasi pengamanan untuk menyelamatkan burung ini. Program pelepasliaran terus dilakukan untuk mengembalikan populasi Nuri Bayan ke habitat aslinya di alam.
Julang Irian: Rangkong Megah dari Timur Indonesia
Julang Irian atau Rhyticeros plicatus adalah satu-satunya jenis rangkong yang hidup di wilayah timur Indonesia. Burung berukuran besar ini memiliki panjang tubuh 76 hingga 91 sentimeter dengan bobot mencapai dua kilogram. Tubuhnya didominasi warna hitam mengkilap dengan ekor berwarna putih yang sangat kontras dan mencolok. Paruh besar berwarna kuning dengan tonjolan balung yang tidak terlalu sempurna seperti garis lipatan.
Perbedaan jantan dan betina terlihat jelas dari warna kepala dan leher burung tersebut. Jantan memiliki kepala berwarna coklat kekuningan dengan kantung penyimpan biji berwarna putih di leher. Betina memiliki kepala, leher, dan seluruh tubuh berwarna hitam kecuali ekor yang tetap putih. Mata jantan berwarna merah sementara betina memiliki mata berwarna hitam yang berbeda jelas.
Julang Irian memakan buah-buahan seperti palem, pala, dan matoa sebagai makanan utama sehari-hari. Mereka juga mengonsumsi kepiting, serangga, sarang lebah, dan kadal untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Burung ini memiliki perilaku bersarang yang unik dengan menutup lubang pohon menggunakan lumpur. Betina akan terkurung di dalam sarang selama masa pengeraman telur hingga anak siap terbang. Suara kepakan sayapnya sangat keras seperti desisan lokomotif uap yang dapat terdengar dari kejauhan.
Paok Halmahera: Penghuni Lantai Hutan yang Berwarna Cerah
Paok Halmahera atau Pitta maxima merupakan burung berukuran sedang dengan warna-warna cerah yang mencolok. Burung ini mendiami lantai hutan dan jarang terlihat terbang tinggi di kanopi pohon. Warna-warni bulunya yang cerah membuat burung ini mudah dikenali saat berada di habitat alaminya. Mereka aktif mencari makan di serasah daun dan tanah hutan yang lembab dengan kelembapan tinggi.
Makanan utama Paok Halmahera adalah serangga, cacing tanah, dan invertebrata kecil lainnya di lantai hutan. Burung ini memiliki paruh kuat untuk membalik dedaunan dan mencari mangsa tersembunyi di bawahnya. Suara kicauannya khas dan sering terdengar di pagi hari saat burung sedang aktif. Habitat mereka berada di hutan dataran rendah hingga perbukitan dengan vegetasi yang lebat dan rapat.
Paok Halmahera termasuk burung yang sensitif terhadap perubahan habitat dan gangguan manusia di sekitarnya. Kerusakan lantai hutan akibat penebangan pohon berdampak langsung pada populasi burung ini secara signifikan. Status konservasinya perlu mendapat perhatian khusus mengingat ancaman yang terus meningkat terhadap habitatnya. Taman Nasional Aketajawe Lolobata berperan penting dalam menjaga kelestarian spesies burung endemik ini.
Cekakak Murung: Burung Raja Udang yang Misterius
Cekakak Murung atau Todiramphus funebris adalah burung kecil dari keluarga raja udang endemik Halmahera. Burung ini memiliki ukuran tubuh yang kompak dengan warna bulu yang relatif gelap dan suram. Habitat utamanya berada di tepi sungai, rawa, dan area berair di dalam kawasan hutan. Mereka sering terlihat bertengger diam di dahan rendah sambil mengintai mangsa di air.
Makanan utama Cekakak Murung adalah ikan kecil, udang air tawar, serangga air, dan hewan kecil lainnya. Burung ini berburu dengan cara menukik cepat ke air untuk menangkap mangsa yang terlihat. Teknik berburunya sangat efisien dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi dalam menangkap makanan. Suara panggilannya khas dan sering terdengar di sepanjang aliran sungai pada pagi dan sore.
Populasi Cekakak Murung di Taman Nasional Aketajawe Lolobata masih relatif stabil hingga saat ini. Namun, pencemaran sungai dan kerusakan habitat tepi air menjadi ancaman potensial bagi kelangsungan hidupnya. Upaya konservasi habitat riparian sangat penting untuk menjaga kelestarian spesies burung endemik ini. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami ekologi dan perilaku burung yang masih misterius ini.
Taman Nasional Aketajawe Lolobata menyimpan kekayaan avifauna endemik yang luar biasa dan sangat berharga. Ketujuh spesies burung endemik ini merupakan representasi dari 23 spesies yang dilindungi di kawasan tersebut. Keberadaan mereka tidak hanya penting bagi ekosistem tetapi juga sebagai indikator kesehatan hutan tropis. Ancaman seperti perburuan ilegal, perdagangan satwa, dan kerusakan habitat terus mengintai populasi burung endemik tersebut.
Upaya konservasi kolaboratif antara pemerintah, masyarakat lokal, dan lembaga konservasi sangat krusial untuk keberlangsungan hidup mereka. Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya burung endemik perlu terus ditingkatkan secara konsisten dan berkelanjutan. Wisata minat khusus seperti birdwatching dapat menjadi alternatif ekonomi yang mendukung upaya pelestarian alam. Dengan menjaga Taman Nasional Aketajawe Lolobata, kita turut melestarikan warisan alam Indonesia untuk generasi mendatang.
